Cerita Rakyat Muna : Asal mula Tanaman Jagung dan Ubi-kayu

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Muna

Asal mula Tanaman Jagung dengan Ubi-kayu
(TULA-TULANOKANANDONOKAHETELA BI MAFUSAU)

Pada zaman dahulu yang dikatakan orang, zamannya orang yang masih makan katak, orang-orang di Muna banyak. Sumber hidup mereka waktu itu apa saja yang mereka dapat, ya katak, ya ular, ya tikus pokoknya apa saja yang mereka dapat. Mereka pakai sebagai penutup badan ialah daun pisang yang sudah kering atau sengaja dikeringkan. Lama kelamaan mereka ini sudah dapat juga berburu binatang-binatang besar, seperti babi, jonga, sapi, kerbau, ular-ular besar dan lain-lain. (belum mengenal makanan lain, selain daging binatang). Alat yang mereka pakai berburu adalah batang buluh yang diruncing semacam tombak. Suatu waktu seorang diantara mereka ini, seperti biasanya pergi di hutan mencari binatang apa saja untuk di makan. Sementara ia berjalan-jalan dalam hutan, tiba-tiba ia melihat suatu jenis tanaman yang buahnya agak panjang-panjang.

Orang ini mencoba memetik buah tanaman itu lalu ia makan, padahal ia rasa enak. Lalu ia memetik banyak-banyak dan ia bawa pulang di rumah, sampai di rumah ia suruh isterinya masak. Setelah masak mereka sekeluarga makan bersama-sama dan mereka rasakan enak. Maka mulai saat itu orang tidak berhenti-henti. Lama-kelamaan terus dapat diketahui oleh kawan-kawan dalam kampung, sehingga sudah menjadi makanan mereka sehari-hari dan tanaman itu namanya ”Wate Sau” Kemudian mereka mencoba menanam biji dari buah dan memang tumbuh dengan baik. Dengan ini mereka makin tahu memperluas tanah yang mereka tanami dengan tanaman Wute Sau ini, dan disaat inilah mereka mulai pintar bercocok tanam. Setelah itu maka pada suatu saat tiba orang-orang yang disebut Portugis. Orang-orang ini tidak menetap tinggal di Muna, tetapi mereka pulang pergi ke negeri mereka (berdagang). Suatu saat orang-orang Portugis ini datang dengan membawa makanan mentah yang disebut jagung dan ubi kayu, yang kemudian dibagi-bagikan kepada penduduk untuk ditanam. Jagung ditanam bijinya dan ubi kayu ditanam batangnya. Yang menerima pemberian bibit adalah Raja Muna Kaindea.

Raja Muna inilah yang mula memprakarsai soal cocok tanam/berkebun, dan makanya ia disebut Sangia Kaindea, karena ia sendiri yang mempunyai kebun yang terluas, yang isinya bukan saja jagung dan ubi kayu, tetapi segala macam tanaman. Pada saat panen jagung dan ubi kayu ini dirasakan oleh penduduk bahwa jagung dan ubi kayu ini enak dimakan, apalagi dimakan dengan lauknya daging, maka mulai saat itu jagung dan ubi kayu menjadilah makanan pokok bagi orang-orang Muna sampai sekarang ini.
Jagung dan Ubi kayu
Jagung dan Ubi kayu

Cerita Rakyat Muna : Riwayat Turunnya 7 orang bidadari

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Muna.

Riwayat Turunnya 7 orang bidadari
(TULA-TULANO RATONO FITU GHULU BIDHADHARI)

Pada suatu waktu di Muna turun tujuh Bidadari dihulu sungai yang bernama Fotuno rete. Waktu turunnya bidadari yang tujuh itu, Raja Muna nama La Ode Husein, gelar Omputo Sangia kebetulan sementara mandi di hulu sungai tersebut diatas. Pada saat tibanya tujuh bidadari tersebut terus mereka melihat kiri kanan, kalau-kalau ada orang. Raja Muna La Ode Husein Omputo Sangie yang saat itu sementara mandi terus bersembunyi. Setelah para Bidadari itu tidak melihat orang, maka mulailah mereka membuka pakaian mereka berupa alat terbang lalu mereka turun di air mandi-mandi. Setelah bidadari itu mandi, mereka mulai ambil pakaian masing-masing sambil menari-nari di pinggir sungai. 

Pada saat para bidadari ini hendak terbang, Raja Muna La Ode Husein tanpa dilihat, tiba-tiba melompat di tengah-tengah para bidadari, lalu ia memegang satu bidadari sambil berkata: "sekarang saya tidak akan lepaskan lagi kamu untuk kembali, saya akan ambil kamu, untuk menjadi isteri. Siapa yang menyuruh kamu datang dinegeri saya”. Bidadari yang dipegang oleh raja itu menjawab: ”Saya minta maaf, kasihani saya, lepaskan saya: saya ini tidak sempurna karena saya tidak punya kemaluan, karena itu kami bidadari tidak bisa kawin. Asal lepaskan saya, nanti saya mintakan kepada Tuhan, agar kamu beranak yang cantik seperti kami bidadari. ”Mendengar kata-kata bidadari itu, Raja Muna La Ode Husein terus melepaskan bidadari yang sementara ia pegang. Raja Omputo Sangia tersebut sudah lama kawin dengan permaisurinya, tetapi belum pernah mendapat anak.

Tidak lama kemudian setelah Raja tersebut menahan bidadari di sungai fotuno Rete, lalu permaisuri terus mengandung. Pada saat melahirkan, ternyata seorang bayi perempuan dan benar-benar cantik seperti bidadari tetapi tidak mempunyai kemaluan dan ayahnya terus namakan ”Wa ode Kamomono Kamba’” (bahasa Muna: Bunga yang tidak mekar/terbuka). Dua tahun umur Wa Ode Kamomono Kamba, lalu lahir lagi adiknya laki-laki yang diberi nama La Ode Wuna, tetapi ini pun tidak sempurna, yaitu sepotong ular dari kaki sampai pusat, dan sepotong manusia dari pusat hingga kepala, tetapi gagahnya luar biasa. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun Wa Ode Kamomono Kamba sudah jadi gadis dan La Ode Wuna pun sudah dewasa.

Raja dan permaisuri dalam pada itu memberi kehidupan kedua anak tersebut dengan cukup dan sementara itu telah banyak anak-anak muda yang hampir-hampir setiap hari datang berkunjung dengan maksud bertunangan. Kedua, ayah dan ibu menjadi gelisah melihat kehendak anak-anak muda yang datang dalam bentuk bertunangan, malu karena anak gadis mereka tidak sempurna, sedang untuk menyampaikan ke dalam tersebut kepada anak-anak muda yang setiap hari berkunjung tidak mungkin, karena mereka malu. Tidak lain Raja dan Permaisuri hanya berdo’a kepada Tuhan, semoga kedua anaknya ini, pendek umur agar tidak memalukan. Walhasil do'a kedua orang tua diterima oleh Tuhan karena Wa Ode Kamomono Kamba tidak lama sudah itu jatuh sakit lalu kemudian mati. 

Saat itu anak-anak muda yang selalu datang berkunjung itu pada kecewa semua, atas kematian manusia bidadari tersebut. Wa Ode Kamomono Kamba dikuburkan di tempat nama Wadolao di kampung Wasolangka. Tinggallah La Ode Wuna yang makin hari makin lebih dewasa tetapi tidak mau keluar rumah karena malu akan keadaan dirinya, tetapi dalam rumah nakal, karena tengah malam selalu mengganggu gadis-gadis yang ia suka dalam rumah. Setelah diketahui oleh ayahnya itu lalu ayah suruh orang-orang kepercayaan dalam kampung untuk pergi menyeberangkan La Ode Wuna keluar pulau Muna dengan jalan diperbodohi/diperdaya. 

Maka pada suatu hari orang-orang yang telah ditunjuk itu mengajak pada La Ode Wuna untuk dibawa pergi jalan-jalan dipantai Mantobua untuk bermain perahu-perahu di laut, dan La Ode Wuna terus mau juga, pada hal langsung pergi dibuang dalam sebuah liang dipantai Wakorumba (dimuka pulau Kaholifano sekarang). Liang ini ada hubungan dalam tanah ke Kulisusu, karena tidak lama kemudian tersiar kabar bahwa orang-orang di sana melihat seorang laki-laki yang gagah sepotong ular, sepotong manusia, menuju daerah Maluku. 

Lama kelamaan sesudah itu, bahkan bertahun-tahun lalu suatu waktu terdengar kabar bahwa La Ode Wuna telah berada di Ternate kemudian menyeberang ke pulau Seram langsung di puncak gunung Seram yang menurut berita itu bahwa orang-orang disana melihat seorang laki-laki yang gagah perkasa, tetapi sepotong ular, sepotong manusia dan langsung masuk hutan.

Riwayat Turunnya 7 orang bidadari
Riwayat Turunnya 7 orang bidadari

Cerita Rakyat Buton : Asal Mula Batu (watu) Samboka-mboka

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Buton.

GUNUNG SAMBOKA-MBOKA DI KALEDUPA
(Gununa Samboka-mboka I Kaedupa)

Pada zaman purbakala ada sebuah kampung yang terletak di atas sebuah bukit yang tertinggi di Kaledupa. Dalam kampung tersebut bermukimlah seorang ibu yang mempunyai anak dua orang dengan nama Wa Konduru bagi anak yang bungsu. Ia disebut Wa Konduru, karena anak tersebut lahir di saat ibunya memetik hasil kebunnya konduru yang banyak. Pekerjaan ibu itu hanya bertani.
Suatu waktu ketika ibunya hendak ke kebun lagi dipesankannya anaknya yang tua, katanya: ”nak, kalau ibu sudah pergi, maka untuk sayur kita sebentar masak sajalah konduru itu.” Dengan tidak bertanya panjang lebar, anak itu mengiakan perintah ibunya karena terburu-burunya ke kebun, dengan tak ada pula penjelasan kepada anaknya, terus ia berangkat.

Sepeninggal ibunya, anak itu lalu menangis kesedihan, memikirkan pendirian ibunya yang demikian. Mengapa sampai hati ia menyuruh saya memasak adik saya yang kucintai ini.” Sambil menggosok air matanya, ia memaksakan diri pergi menggendong adiknya yang sedang tidur. Sambil menggendong adiknya, ia menangis tersedu-sedu mengingat nasib adiknya yang sangat dicintainya itu. Tetapi karena takut kepada ibunya, maka terpaksa ia melaksanakan perintah ibunya.

Dengan air mata yang bercucuran diambilnya parang tajam lalu dipotong-potongnya adiknya itu. Kemudian dimasak segera jangan sampai belum selesai memasak ibunya sudah kembali, tentu ia dimarahi. Setelah sudah masak, ia duduk di dapur lalu menangis tersedu-sedu, mengenang adiknya yang sudah mati karena sengaja dibunuh dan dimasak, sesuai perintah ibunya.

Tiba ibunya kembali dari kebun terhuyung karena payah dan merasa lapar sekali. Sampai di rumah ia mandi dan bertanya kepada anaknya: ’’Bangunkalah dahulu adikmu supaya kuberi teta, sesudah itu baru siapkan untuk kita makan. Sambil menyapu air matanya ia menjawab kepada ibunya. Adik saya sudah mati dimasak, sesuai perintah ibu tadi. Dengan tidak sadar ibunya lalu pingsan memikirkan kebodohan anaknya itu. Disuruh masak buah konduru untuk saya, ia memasak adiknya nama Wa Konduru. Ketika sadar dari pingsannya itu ia bangkit memburu anaknya itu dengan parang. Karena takutnya, anaknya itu lari sekuat-kuatnya, sehingga ibunya ia tinggalkan jauh sekali di belakang. 

Anak itu tiba pada sebuah barisan batu besar: ’’kalau perbuatan ini kubuat dengan sengaja maka tindislah aku sampai badanku hancur. Tetapi kalau aku tidak sengaja, hanya semata-mata karena taat atas perintah ibuku terbukalah engkau batu kemudian tutuplah aku dalam badanmu”.

Sambil menangis anak itu menyanyi dengan kesedihan seakan-akan meminta kerelaan batu itu untuk terbuka. Demikianlah nyanyian anak itu:
”watu samboka-mboka, leka aku galigu aku; artinya hai batu terbukalah, supaya aku dapat masuk dan tutuplah aku.” Dengan kodrat Allah, tiba-tiba batu itu terbuka lalu masuklah anak itu ke dalam batu. Karena terburu-buru masuk, jangan sampai dijumpai oleh ibunya, ia tidak sadar bahwa ujung rambutnya belum termasuk dalam batu itu.

Ibunya yang memburu tadi, terus mengikuti jejaknya sampai tiba di muka batu tempatnya masuk bersembunyi itu. Tatkala tiba di muka batu itu didengarnya suara orang menangis dalam batu itu sambil ia memperhatikannya rambut yang terkulai di luar batu itu.

Ketika itu ibunya sadar, dan ia yakin bahwa anaknya sudah ada dalam batu itu. Dengan penyesalan yang tak berkepuputan ibu anak itu menangis karena tadinya ia hanya mengalami kematian anak satu orang saja, tetapi kini kedua anaknya hilang tak ada bekas. Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tiada berguna.

Demikianlah ceriteranya, sehingga bukit itu disebutkan ”watu Samboka-mboka”, sampai sekarang, batu itu masih ada dengan akar-akar yang merupakan rambut terkulai.

Batu Samboka-mboka
Batu Samboka-mboka

Cerita Rakyat Muna : Kisah Tenggelamnya Suatu Negeri

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Muna

Kisah Tenggelamnya Suatu Negeri
(TULA-TULANO LIWU MOTONUNO)

Pada zaman dahulu di Muna ada datang orang-orang kurang lebih banyaknya tiga puluh rumah tangga dan tiba di pantai kampung mantobua yang bernama Meleura, dengan memakai perahu mereka sendiri masing-masing. Setiba mereka di pantai meleura mereka terus membawa diri menghadap kepala kampung mantobua, sampai dihadapan kepala kampung/mantobua mereka ditanya oleh kepala kampung, ”Kamu orang ini siapa dan dari mana.” Orang-orang pendatang ini menjawab, ”Kami ini adalah orang-rang bajo yang tidak menentu tempat tinggal, di mana saja kami dapat hidup di situ kami tinggal, yang jelas selalu di pantai. Sekarang ini kami diburu-buru oleh bajak laut, yang selalu mengadakan pemburuan di laut. Oleh karena itu sekarang kami angkat dari dan secara kebetulan sekarang kami tiba di pantai meleura. 

Maka dari itu sekarang kami datang menghadap untuk minta izin, sekiranya kami dapat diperbolehkan tinggal di pantai laut meleura, Kepala kampung mentobua berkata, ”Boleh saja kamu orang tinggal di pantai kampung mentobua ini, dengan ketentuan bahwa kami orang tidak boleh bersifat memisahkan diri dengan orang-orang kampung saya, artinya dalam hal tolong menolong untuk kepentingan umum dalam kampung ini, kamu orang harus turut serta.” Jawab orang-orang bajo, "Sekarang kami telah dengar apa yang tuan katakan, jadi apa saja menurut kebiasaan dalam kampung ini tidak mungkin kami akan pisahkan diri.” Lalu kepala kampung berkata lagi, ”Kalau begitu bolehlah kamu orang tinggal di sini.” Dan untuk kelengkapan rumah-rumah, kamu orang boleh saja menebang kayu di pantai Meleura.” Mendengar kata-kata kepala kampung, orang-orang Bajo pendatang ini sangat gembira, sambil minta izin kembali di pantai, maksudnya untuk mereka mengusahakan segala sesuatunya untuk tinggal di pantai Meleura. 

Sesampai mereka di pantai segera mereka pergi menebang kayu di tempat yang telah ditunjukan untuk perumahan mereka. Mengenai makanan, belum menjadi persoalan di saat itu, karena mereka ada membawa bekal makanan agak cukup, tiga bulan mereka berada di pantai Meleura, mereka telah dapat selesaikan perumahan-perumahan yang sangat sederhana. Bulan berganti tahun, lama kelamaan mereka juga sudah tahu bercocok tanam di samping kehidupan mereka sebagai nelayan. Setelah itu mereka juga telah dapat menenun dari hasil kapas yang mereka sendiri tanam, pendek kata apa saja yang mereka lihat pada orang kampung Mantobua, mereka pun coba kerjakan sesuai kemampuan mereka.

Letak tempat tinggal mereka itu kira-kira satu kilo meter dari pantai Meleura atau kurang lebih seribu depa menurut cara perhitungan mereka. Dekat tempat tinggal mereka ini ada sebuah mata air, di mana orang-orang kampung Mentobua mengambil air untuk masak dan minum (air tawar) dan di situ pulalah mereka ini mengambil air. Lama kelamaan mereka tinggal di tempat itu, mereka telah mulai merasakan agak kekurangan makanan. Lalu mereka mufakat untuk mencari tempat pantai lain di mana mereka dapat hidup lebih baik lagi. Suatu waktu mereka bertanya-tanya pada orang-orang kampung Mentobua, berapa kira-kira jauhnya pantai pulau Muna sebelah barat (Meleura ada pantai Timur pulau Muna), mereka diberi tahu bahwa kira-kira hanya perjalanan kaki sehari semalam. 

Lalu pada suatu hari mereka mengutus empat orang untuk pergi meninjau pantai laut sebelah barat Muna dengan membawa bekal yang cukup, dengan persetujuan kepala kampung Mentobua. Karena mereka belum tahu betul keadaan, maka dua hari semalam bahwa mereka tiba sebelah barat pulau Muna, tidak begitu jauh dengan tempat mereka menginap, setelah mereka tiba, ada sebuah mata air berupa danau yang bernama ”Wula moni”. Semalam mereka menginap di pantai barat Muna mereka kembali karena bekal mereka sudah habis, juga mereka tidak melihat tempat yang mereka inginkan. Tiba di tempat mereka tinggal Mentobua Meleura, mereka sampaikan pada kawan-kawan mereka, bahwa dalam peninjauan mereka tidak ada tempat yang memungkin untuk tempat tinggal di pantai barat Muna.

Pada saat mereka yang empat orang ini kembali mereka mengambil air di mana Wulamoni tersebut untuk sekadar minum dalam perjalanan kembali ke pantai Meleura air yang mereka ambil di mana Wulamoni mereka tidak habiskan dalam perjalanan mereka kembali di kampung Montobua. Tiba Montobua, sisa air yang mereka bawa dari pantai barat Muna itu, mereka tumpah dalam tempat air minum mereka di rumah salah seorang dari empat perutusan tersebut bercampur dengan air di Montobua.

Suatu hal yang mengejutkan, bahwa pada saat air dari Wulamoni ditumpah dan bercampur dengan air di Montobua, tiba-tiba terus langit berawan, kemudian turun hujan yang lebat bersama angin yang kencang, padahal waktu itu masih kemarau. Tujuh hari tujuh malam dan angin terus menerus tanpa hentinya sedikit, lalu salah seorang dari empat orang dari pantai barat Muna pergi bertanya kepada kepala kampung Mantobua tentang hujan dalam musim panas saat itu, sambil menceritakan bahwa, pada saat mereka tiba dari peninjauan pantai barat Muna, mereka ada membawa air minum dari danau Wulamoni untuk bekal minum diperjalanan, tetapi tidak habis dan sisanya mereka tumpah dalam tempat air mereka bercampur dengan air di Mantobua ini, dan begitu kami tumpah datang hujan dan angin.

Sementara orang Bajo ini melaporkan dan bercakap-cakap dengan kepala kampung tiba-tiba terdengar kabar bahwa tempat tinggal orang-orang Bajo di pantai telah tenggelam. Begitu kabar dalam kampung tersiar, kepala kampung Mantobua bersama orang-orang kampung lainnya terus pergi mencek kabar itu padahal memang benar, seluruh tempat perumahan orang-orang Bajo waktu itu serta rumahnya bersama orang seluruhnya tenggelam kecuali yang pergi melapor sama kepala kampung dan terus menjadi serupa danau dan terus dinamakan Mantobua. Motonuno yang tenggelam, dan pada saat kepala kampung Mantobua umumkan dalam kampung, bahwa lain kali tidak boleh lagi mempercampurkan kedua jenis air tersebut.

Tenggelamnya Suatu Negeri
Tenggelamnya Suatu Negeri

Cerita Rakyat Kolaka : Asai mula Padi dan Dewa Padi (Part 3)

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Asai mula Padi dan Dewa Padi
(SANGGOLEO MBAE)(Part 3)

Tikus putih berkata: ”Ambilkanlah kelapa yang habis dibakar, saya makan dahulu karena jalan sangat sulit”. Ndina Iaro pergi membakar kelapa, kemudian diberikan kepada tikus putih itu. Ia habiskan sepotong, kemudian berkata: ”Aku sudah kuat, tunggulah di bawah pohon betung kuning, agar engkau saksikan saya naik ambil. Padi itu saya lihat juga hanya setangkai. ” Apakah engkau sanggup pelihara?” Ndina Iaro menjawab: ”Ya sanggup”. Tikus putih itu datang dipohon betung kuning membuat lubang untuk jalan di dalam Tujuh bulan tujuh hari dalam perjalanan baru sampai di tempat itu. Padi itu diambilnya kemudian kembali mengikuti jalan yang telah dilaluinya, Ketika masuk dalam bambu, terkait padi itu sehingga terlepas dan jatuh di tanah. Padi itu dipungut oleh babi.

Burung pipit cepat-cepat datang menyampaikan berita kepada Ndina laro bahwa padi sudah diambil tikus putih dan tidak lama ia akan tiba. Sekonyong-konyong muncul tikus putih dengan berkata: ”Wah sial sekali padi itu jatuh”. Ndina laro berkata pula: ”Jadi bagaimana tikus putih menjawab: ”Sabar saja nanti saya cari”. Burung pipit cepat-cepat terbang untuk pergi mencari padi itu. Tikus putih pun sudah berangkat pula. Tiba-tiba muncul dengan berkata: ’He .. Ndina laro saya memungut padi” Ndina laro bertanya: ”Di mana tempatmu pungut padi apa namanya?” Babi menjawab: ”Surungadi”. Sementara Ndina laro dan babi bersoal jawab, burung pipit dan tikus tiba kembali. Babi berkata: ”Baiklah kita bagi untuk dimakan. Burung pipit berkata juga: ”Bagaimana kalau dibagi-bagi untuk di makan saja saya tidak akan kenyang”. Tikus berkata juga: ”Saya yang mengambilnya dengan susah payah memanjat”. Burung pipit berkata pula: ”Saya yang melihat”. Babi berkata: Saya yang memungutnya, baiklah saya saja yang makan”. Ketika mereka berkelakar Ndina laro berkata: ”He .. janganlah, janganlah kasihan. Begini saja, nanti saya yang putuskan kalau kalian hendak setuju. Marilah padi itu saya pelihara. Tujuh tahun saya pelihara, kalau sudah berhasil dan banyak barulah dapat ambil makan. Kalau hanya setahun dua tahun, jangan dahulu menuntut karena belum banyak. Keputusan itu mereka semua setuju.

Tujuh butir padi itu diambilnya, lalu ditanam. Tumbuh jadi tujuh pohon. Setelah masak diketamnya hanya segenggam ditanamnya lagi kembali berhasil dengan bertambah banyak. Seterusnya ia kembangkan dan selalu berhasil. Setelah beberapa kali ia kembangkan datanglah burung pipit, tikus, babi masing-masing minta bahagian. Ndina laro berkata: ”Jangan dahulu berikan kesempatan sekali lagi saya kembangkan. Setelah tiba waktu perjanjian burung pipit muncul lebih dahulu meminta bahagiannya. Ndina laro berkata: ”Begini engkau burung pipit apabila waktu sedang mulai berisi seperti air susu sudah dapat mengisap, tetapi apabila sudah ada obatku, berhentilah tidak boleh makan lagi”. Burung pipit bertanya: "Bagaimana tandanya obatmu itu? Ndina laro berkata lagi: ”Obatku ialah buah enau dengan lidinya dan jahe. Kalau sudah terpancang benda-benda itu berarti engkau burung pipit dengan nama samaran burung anak Bidadari, jangan makan lagi tetapi berhentilah.
Muncullah tikus putih dengan berkata: ”Kalau saya, bagaimana perjanjian kita. Saya akan makan sesuka hati karena upahku”. Ndina Iaro menjawab: "Engkau tikus putih dengan nama samaran tikus emas, kalau saya sudah datang manterai dengan menyimpan jahe tempuling dan telur. Jadi itulah jampianku. Bunyi manteranya sebagai berikut:

Aku berikan jampian sebagai obat,
Kepadamu tikus putih/tikus emas,
Kalau berada di sarangmu,
Engkau akan tunduk dan taat,
Walaupun engkau berada di dasar laut,
Kalau sudah dijampi/diobati,
Engkau akan tunduk dan taat,
Aku sudah melarangmu,
Terlaranglah engkau,
Dan berhenti untuk memakan padiku.

Babi muncul pula menuntut dengan berkata:
"Bagaimana saya?” Ndina laro menjawab: ”Engkau empunya tanah sebagai nama samaran, karena menurut riwayat engkau-engkaulah yang penguasa tanah. Jadi kalau saya sudah berkata: ”Sembah sejahtera kepadamu yang empunya tanah”. Kalau engkau sudah melihat pagarku, janganlah masuk ambil. Sudah dipagari berarti saya telah melarang. Jadi berhentilah dan pergilah makan padinya yang lain. Padi saya jangan dimakan karena saya sudah obati. Inilah perjanjian kita. Ndina Iaro berkata lagi: ”Tahun ini saya berladang dan akan mulai memberikan bagianmu masing-masing. Engkau burung pipit, engkau juga tikus putih dan engkau pula babi, kalau padi sudah jadi dan baik ambillah bahagianmu. Tetapi kalau sudah ada obatku, berhentilah engkau sekalian”. Babi berkata: ”Saya akan mulai mengambil setelah engkau selesai menugal”. Ndina Iaro menyahut: ”Baiklah asal jangan ambil semua yang ada di lubang.

Ndina Iaro mulai membabat, sudah itu ia menebang kayu-kayu besar kemudian sesudah kering dibakarnyalah dan seterusnya tibalah masanya menugal. Sesudah menugal, babi mulai mengambil bahagian dengan jalan memakan yang ada di pinggir lubang. Sesudah tumbuh padi, babi lari tetapi tikus mulai makan sampai padi itu diketam. Begitu pula burung pipit sesudah mulai berisi seperti air susu, ia mengambil juga bahagian. Begitulah biasa terjadi apabila orang menanam padi.
Asai mula Padi dan Dewa Padi
Asai mula Padi dan Dewa Padi

Cerita Rakyat Kolaka : Asai mula Padi dan Dewa Padi (Part 2)

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Asai mula Padi dan Dewa Padi
(SANGGOLEO MBAE)(Part 2)

Ketika mereka berada di rumah berkatalah Ndina Iaro: ”Wahai Langgaimoriana janganlah engkau tidur-tidur saja, pergilah tengok padimu sudah masak dan buat padi.” Langgaimoriana menjawab: "Bagaimana hendak membuat rumah padi, ladang kita sempit sekali.” Ndina Iaro berkata lagi: ”Ya buat bukan engkau yang tahu. Dewi sri punya kuasa. Langgaimoriana menanyakan berapa depa luas rumah itu. Diperintahkan membuat rumah padi panjang sembilan depa dan lebar tujuh depa. Langgaimoriana menyiapkan ramuan selama tujuh hari. Sesudah itu mulai mendirikan tiangnya, kemudian memasang kasau, atap, lantai dan dinding. Sesudah selesai rumah padi itu keseluruhan, pergilah ia melaporkan kepada orang tua perempuan bahwa rumah padinya telah selesai, orang tua perempuan itu memerintahkan agar ia diantar ke rumah itu.

Sesampai di rumah padi itu disuruhnya Langgaimoriana membuat jalan dari rumah padi sampai di tempat ia mulai menuai dengan jalan merebahkan pohon padi ke kiri dan kanan. Diperintahkannya pula agar orang tua laki-laki di tempatkan di rumah padi dan ia di tempatkan di mana ia akan mulai menuai. Setelah itu orang tua perempuan menanyakan apakah Langgaimoriana pandai menuai. Ia menjawab bahwa pandai, hanya tidak tahu caranya. Disuruhnyalah pergi melihat rumpun padi yang batang padinya sama besar kemudian mengikatnya dan membakar kemenyan. Kesemuanya itu diselesaikan Langgaimoriana. Perempuan tua itu menanyakan juga beberapa banyaknya pengikat, Langgaimoriana sediakan. Langgaimoriana mengatakan bahwa ia belum mengambil. Disuruhnya Langgaimoriana pergi mengambil rotan untuk mengikat dan Ndina Iaro diperintahkan mulai menuai. Pesanannya kepada Langgaimoriana agar mengambil pengikat sebanyak mungkin jangan hanya sambil ratusan saja tetapi harus berjumlah ribuan.

Ndina Iaro mulai menuai, dan Langgaimoriana pergi mengambil rotan dan merautnya di tempat rumah padi. Setelah waktu duhur di panggilnya Langgaimoriana untuk mulai mengikat. Langgaimoriana sejak dari duhur sampai magrib, padi yang sudah diketam belum selesai. Berkatalah perempuan tua itu; ”Wahai Langgaimoriana berhentilah mengikat dahulu dan angkut padi yang sudah ini ke rumah padi dan engkau Ndina Iaro berhenti mengetam lalu membantu angkut padi yang sudah di ketam.

Mereka mengangkut padi sampai tengah malam baru selesai. Sesudah itu orang tua perempuan perintahkan. Langgaimoriana agar ia diantar di rumah padi dan setiap pagi dikembalikan lagi di tempat di mana mulai berdiri mengetam. Langgaimoriana dan Ndina Iaro kembali di rumah mereka. Mereka sudah diberikan beras tujuh biji. Setiap hendak memasak hanya sepotong yang dimasak. Setiap pagi mereka melaksanakan perintah orang tua perempuan itu sesuai apa yang telah dipesankan. Setiap hendak mulai mengetam orang tua perempuan itu menyodorkan tongkatnya sejauh tidak sampai sejengkal. Disitulah mereka mulai berdiri mengetam sampai selesai. Mereka mengetam sudah semalam, dua malam, tiga malam, empat malam, tujuh malam, sudah sampai sebulan. Padi sudah bertumpuk-tumpuk.

Pada waktu itu merekalah yang tersohor mendapat padi yang banyak, Orang-orang berkerumun datang meminta untuk membantunya dengan jalan mengharapkan pemberian dengan padi. Permintaan itu Ndina Iaro tidak serentak mengabulkan tetapi dengan berkata: ”Saya tidak dapat memutuskan dahulu, karena akan kulihat dahulu keadaan padiku apakah memungkinkan atau tidak. Tunggulah dahulu nanti saya datang berikan keputusan”. Ndina Iaro bergegas-gegas menyampaikan hal itu kepada Dewi Sri. Dewi Sri membolehkan, tetapi mereka harus taat kepada tabuh ialah jangan ribut.

Sejumlah empat puluh orang mulai berdiri dari ujung keujung dengan rapat hampir-hampir bertemu bahu dan mulai menuai padi. Setelah mereka sampai di perbatasan kembali menoleh ke belakang, padi yang telah diketam sudah berbuah kembali. Mereka kembali lagi menuai padi itu. Langgaimoriana memanggil tujuh orang untuk membantunya mengikat sampai magrib, tetap tidak dapat selesai. Dewi Sri berkata: ”Hai.. janganlah terus-menerus pengikat baiklah mulai mengangkut juga karena sudah malam dan berikanlah bahagian orang-orang itu: Langgaimoriana bertanya: ”Berapa bahagian setiap orang”. Dewi Sri berkata lagi: ”Bahagi tiga, sebahagian mereka ambil dan dua bahagian engkau ambil. Pesan pula supaya besok mereka datang lagi, asalkan jangan ribut.”
Besoknya kembali orang banyak itu mengetam. Padi yang dibelakang masak lebih baik dari padi yang pertama. Mereka telah sebulan, dua bulan menuai padi masih belum apa-apa. Seluruh orang-orang di kampung telah datang membantu. Rumah padi yang sudah penuh sesak, terpaksa membuat lagi sampai tujuh buah rumah, belum juga termuat.

Sesudah tujuh bulan padi itu diketam tidak selesai juga. Mengingat padi yang sudah diketam akan rusak apabila tidak lekas dimasukkan dalam lumbung, terpaksa laki-laki diperintahkan membuat lumbung dan perempuan tetap menuai. Sebanyak tujuh buah lumbung dibuat belum dapat menampung isi sebuah rumah Padi. Orang-orang banyak sudah jemu menuai, lalu mereka bergembira ria dengan jalan memukul bekas tempat sagu, gong. Di samping itu mereka menari-nari dengan bersorak-sorak dengan tidak mempunyai beras. Padi masih tetap seperti biasa. Mereka mengambil lagi kayu tempat pembuatan pakaian dari kulit kayu, lalu dipukul-pukul lagi. Disinilah mereka mengingkari janji.

Tiba-tiba orang tua wanita berkata: ”Wahai Ndina Iaro dan Langgaimoriana perbuatan-perbuatan itu sudah membangkitkan kemarahanku. Saya telah berikan sejengkal dilakukan sedepa.

Jadi kamu semua tidak akan mendapat makanan lagi. Kalau egkau berdua diam. Tetapi itu kawan-kawanmu luar biasa. Tinggallah dan aku berangkat, jangan menyesal di belakang hari. Saya tidak akan kembali lagi.

Ndina Iaro Langgaimoriana tunduk dengan menangis. Mereka masih taati peraturan, tetapi orang banyak yang berbuat. Padi yang belum diketam mulai beterbangan, kemudian jerami, menyusul padi yang ada di rumah dan semua pula yang ada di lumbung. Sejak itu mereka tidak ada makanan, karena padi tidak ada lagi. Ubu hitam tidak berisi. Daun-daun tidak ada yang pantas dimakan. Mata air pun sudah kering mereka sudah kelaparan dan melarat.

Ndina Iaro tinggal berdiam diri karena orang-orang itu sudah kembali di tempat masing-masing. Setiap waktu ia menangis merenungkan nasibnya dan bagaimana caranya mendapat makan. Segera ia mengambil bakulnya lalu berjalan mengikuti sungai menuju kehilir. Pohon-pohon sayur paku kesemuanya sudah layu. Sementara ia berjalan kedengaranlah olehnya suara burung. Dengan berkata: ”Wahai Ndina Iaro”. Saya ada melihat setangkai padi berbulir tujuh biji, terjepit di atas betung kuning, sangat sukar untuk diambil karena tinggi tempatnya.

Ndina Iaro berkata juga: ”Kalau mau, ambilkanlah saya berikan upah.” Burung pipit menjawab: "Bagaimana dapat diambil saya tidak dapat terbang kesana karena terlalu tinggi tempatnya.” Tiba-tiba muncul tikus putih dengan berkata: ”Wahai Ndina Iaro, saya sanggup mengambil, asalkan engkau memberi upah kepadaku”. Ndina Iaro menyahut: ”Pergilah ambil nanti aku berikan upah”.

Asai mula Padi dan Dewa Padi
Asai mula Padi dan Dewa Padi

Cerita Rakyat Kolaka : Asai mula Padi dan Dewa Padi

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Asai mula Padi dan Dewa Padi
(SANGGOLEO MBAE)

Pada suatu tempat ada seorang bernama Langgaimoriana sedang tidur nyenyak dengan berselimut rapat-rapat. Ndina Iaro berkata: ”Wahai Langgaimoriana mengapa engkau terlalu pendiam tidur sepanjang hari. Tidak mengenal kesusahanmu.”

Langgaimoriana menjawab: ”Wahai Ndina Iaro walaupun saya bangun, apa yang akan dikerjakan, sedang parang pun tidak ada. Ndina Iaro berkata: ”He janganlah susahkan tidak adanya parang. di sana ada parangku.” Pergilah ia mengambil parang yang tidak berhulu itu lalu diberikannya dengan berkata: ”Ambillah parang ini kemudian berikan hulu.” Parang yang tidak berhulu itu diambilnya, kemudian pergi memotong sepenggal rotan lalu diikatnya, sesudah itu diasahnya. Sesudah tajam berkatalah ia: ”Wahai Ndina Iaro, di mana tempat saya membabat?” Ndina Iaro berkata: ”He .. engkau terlalu bodoh. Kenapa tidak tahu tempatmu membabat. Lihatlah luasnya tanah itu. Pergilah. "Pergilah, ia. Ia membuat semak-semak pohon sayur paku di dekat tangga rumahnya: ”Ia membabat sudah tujuh malam tujuh hari. Lalu ia naik di rumah dengan berkata: ”Wahai Ndina Iaro saya sudah selesai membabat”. Ndina Iaro berkata: ”Cukup luas yang engkau babat itu? ”ya, begitu luas yang dikerjakan selama 7 hari. Sesuai pekerjaan seorang yang tua lagi tidak sehat.” Ndina Iaro berkata lagi: "Usahakanlah agar cukup luas. ”Ia pergi membabat lagi agar lebih luas. Ia bekerja selama tujuh hari lagi. Sementara membabat ia berkata: ”Ambillah kapakmu dan tebang kayu-kayu besar itu.”

Kapak itu diambilnya lalu diasah sampai tajam sekali. Sesudah itu turun dari rumah langsung menebang sepohon kayu undolia (jenis kayu kelas tiga) sampai rebah. Setelah rebah kayu itu dahan dan ranting dipotong-potongnya sehingga rata semua di tanah. Sudah tujuh hari lamanya bekas babatannya itu berjemur. Berkatalah ia: ”Wahai Ndina Iaro aku sudah mau bakar babatanku ” Ndina Iaro berkata: ”Baiklah” Sesudah dibakarnya, ternyata semua dahan dan ranting serta kotoran yang lain angus, tinggal batang kayu yang bergelimpangan. Sesampai di rumah berkatalah ia: "sudah dibakar, bersih sekali, pergilah menanam Sayur mayur. ”Ndina laro mulai menanam sayur bayam, labu, mentimun dan jagung. Selama tujuh hari habis menanam sayur dan lain-lain berkatalah Ndina laro: ”Aku akan pergi menengok tanaman, barangkali sudah tumbuh.” Setelah sampai di kebunnya ternyata apa yang sudah ditanamnya sudah tumbuh. Ia kembali lagi di rumah. Sesudah empat hari ia pergi lagi. Sayur bayamnya sudah kelihatan lembaganya dan jagungnya sudah mulai mengeluarkan daun.

Sementara berada di rumah berkatalah Ndina laro: ”Wahai Langgaimoriana baiklah kita bersedia untuk menanam padi dengan jalan menugal. Langgaimoriana menjawab: "Terserahlah engkau” Mereka mulai menyiapkan segala sesuatu kebutuhan. Langgaimoriana pergi mengambil towoa (semacam daun kunyit), bambu, doule (semacam kayu bunga) dan sebiji telur, lalu dimanterai bibit padinya. Sesudah itu mereka mulai menanam padi. Langgaimoriana menugal dan Ndina laro memasukkan gabah ke dalam lubang. Mereka menanam padi sepanjang hari, namun baru dua pertiganya selesai. Mereka lanjutkan menanam, menyelesaikan pembatas antara padi biasa dengan padi ketan. Sesudah itu mereka menanam lagi padi ketan yang putih dan padi ketan yang hitam. Selesailah mereka menanami kebunnya itu dengan hati yang lega dan perasaan puas bahwa kebun mereka cukup luas. Setelah empat hari sesudah menanam padi, mereka pergi lagi menengoknya. Padi mereka mulai tumbuh seperti bulu hidung. Setiap hari mereka menengoknya. Sekali waktu Ndina laro berkata: ”Ya, wahai Langgaimoriana janganlah temani saya menengok padi kita, baiklah ambil kayu dan pagari.” Langgaimoriana menjawab: ”Baiklah”

Langgaimoriana bekerja keras menyiapkan kayu-kayu kecil untuk tonggaknya selama tujuh hari. Sesudah itu ia mengerjakan pagar dan selesai pula selama tujuh hari. Padi mereka mulai berdaun. Setiap hari Ndina laro menengoknya dan menyabit rumputnya.

Dengan tidak dirasa padi mereka mulai berdaun lebar. Sesudah itu batang-batang kayu sudah tidak kelihatan. Mulai tumbuh dengan subur silih berganti bentuk, akhirnya bunting. Tidak lama buah padi mulai keluar satu persatu akhirnya berisi. Setiap hari mereka pelihara membuang rumputnya. Mereka sangat gembira hasil ladangnya.

Ndina laro berkata: "Sandandounenapo (nama samaran Langgaimoriana) alangkah baiknya engkau pergi mengambil ramuan untuk membuat rumah padi.” Langgaimoriana berkata: ”Hai .. padi kita belum masak dan belum diketahui apakah ada hasilnya atau tidak, sudah mau membuat rumah padi.” berkata lagi Ndina laro: ”Jangan engkau ragu-ragu itu semua berkat dewi sri. "Sementara mereka berada dalam rumah, tiba-tiba datang seorang perempuan yang tua dan seorang laki-laki yang tua pula. Perempuan tua itu berpenyakit lepra dan laki-laki yang tua berpenyakit perambusia. Mereka berdiri didekat tangga. Ndina laro berkata: ”Wahai Langgaimoriana, coba lihat siapa orang yang sedang berada di dekat lesung itu?” Langgaimoriana menyambut: ”Ya, orang lepra dan orang perambusia. ”Ndina laro berkata lagi: ”Kasihan persilahkan naik di rumah.”

Langgaimoriana mempersilahkan mereka dengan berkata: "Wahai bibi, silahkan naik di rumah”. Perempuan tua itu berkata: "Hai .. anakku yang sayang bagaimana kami ini mau naik, bau kami terlalu busuk Lihatlah badanku ini seluruhnya bengkak dan bernanah.” Langgaimoriana menjawab: ”Oh.. hal itu tante tidak akan menggosokkan di badan saya atau memberikan makan. Disana akan saya buatkan tempat Rumah ini luas, mereka itu naik di rumah. Dalam rumah berbau penyakit itu. Pada waktu itu Ndina laro dan Langgaimoriana sudah tidak mempunyai makanan, hampir-hampir mati kelaparan. Tiba-tiba perempuan tua itu berkata,” Wahai Ndina laro, janganlah kamu berdua terlalu pendiam di tempatmu itu. Marilah disini aku beri tahu apa yang engkau susahkan. "Ndina laro datang dan berkata: Kasihan kami ini bersusah hati karena tidak ada makanan. Mau pergi minta kepada orang lain tidak ada tempat meminta. Kesemuanya sama-sama sedang kelaparan. Orang tua wanita berkata: Oh kalau tidak keberatan. "Kalau memang baik, silahkan beritahukan: Orang tua wanita berkata: ”Baiklah carikan obat agar saya berobat supaya penyakitku sembuh. Obat yang saya perlukan ialah ceku.”

Dengan sepontan Ndina laro berkata: ”Wah ceku yang engkau perlukan ada ini sebakul.” Kalau begitu bawalah kemari agar saya berobat. Ceku itu diberikannya lalu ditumbuk dan berobat; sesudah ia berkata, ”Baiklah engkau pergi memasak. Ambillah beras ini. Ndina laro menyuruh Langgaimoriana mengambil kayu, karena kayu tidak ada untuk memasak.” Langgaimoriana berkata. "Apa yang akan dimasak, beras tidak ada.” Ndina laro menjawab. ”Itu beras sudah ada diberikan orang tua perempuan.”

Langgaimoriana pergi mengambil kayu bakar, air lalu datang menghidupkan api dan memasang periuk sedang pada tungkuan. Orang tua perempuan berkata, ”Kalau hanya engkau berdua yang akan makan, pasanglah periuk kecil.” Tetapi kalau ada temanmu baiklah pasang periuk besar.
Ndina Iaro mari ambil beras, karena periukmu sudah mendidih airnya. Ndina Iaro datang menerima beras itu, dengan keheranan karena hanya sebiji. Ia hendak buang, kurang baik karena pemberian orang. Terpaksa sebiji beras itu dimasukkan dalam periuk, lalu ia pergi berbaring tanpa berkata-kata. Orang tua wanita berkata: ”Hai Ndina Iaro mengapa engkau diam-diam saja, masakanmu sudah kering airnya nanti hangus.” Ndina Iaro bangkit langsung menengoknya aduh periuknya sudah penuh. Alangkah senang hatinya. Dalam hatinya berkata: "Kemudian orang tua itu adalah dewi sri.” Sesudah masak nasi Ndina Iaro datang menemui orang tua perempuan itu dengan berkata: ”Wahai orang tua nasi sudah masak mari kita makan.” Ia menjawab: ”Hai.. kami tidak makan nasi. Makanan kami hanya ceku”. Ndina Iaro berkata lagi: "Sisanya simpan untuk lain kali.” Ketika mereka hendak memasak lagi perempuan tua itu berkata: ”Karena sebiji tak dapat engkau berdua habiskan, baiklah masak sepotong saja.”
Asai mula Padi dan Dewa Padi
Asai mula Padi dan Dewa Padi

Read More:

Cerita Rakyat Muna : Asal-usul Buaya

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Muna.

Cerita Asal-usul buaya
(TULA-TULANO KANANDONO O BUEA)

Pada zaman dahulu kala ada di Muna seorang perempuan yang bernama wade Kokanda. Perempuan ini adalah gadis tua, karena umurnya sudah lanjut dan belum kawin karena luka pada kedua kakinya sejak kecil yang tidak pernah sembuh. Luka semacam ini dinamai luka sepanjang masa. Wade Kokanda ini tinggal seorang diri pada sebuah rumah, terpisah dari seluruh keluarga, karena semua keluarga pada benci padanya karena lukanya yang tidak pernah sembuh dan busuk itu. Rumahnya adalah satu pondok kecil dipinggir sungai wasolangka. Diantara orang-orang kampung wasolangka pun tidak ada yang mau pergi menengoknya karena busuknya lukanya itu, padahal wade Kokanda ini adalah seorang perempuan yang cantik, tetapi apa boleh buat karena lukanya yang busuk itu. Jadi keluarganya hanya bawakan saja makanan dan air dipagi hari, siang dan malam. Wade Kokanda adalah juga penyanyi, jadi kerjanya siang malam hanya menyanyi di tempatnya ia tidur. Cape ia menyanyi sambil baring, ia bangun duduk dan menyanyi dimuka jendela dekat tempat tidurnya, karena ia tidak bisa turun di tanah untuk pergi jalan-jalan seperti orang lain, jadi terpaksa selalu dalam rumah dan kalau ia rasa mau buang air besar, maka ia buang airlah di lobang lantai (rumah panggung) dekat tempat tidurnya.

Dikolong rumahnya dibuatkan lobang yang agak besar oleh keluarganya, untuk menampung kotorannya. Begitulah kehidupan wade Kokanda setiap harinya kalau ia cape menyanyi ia menangis, menangis karena sakit lukanya, dan juga ia ingat-ingat dirinya bagaimana nanti pada akhimya, maka dalam keadaan demikian, ia jatuh tidur atau berbicara sendiri ”Kasihan saya ini, apa sebab saya harus menderita begini, ”sambil berjatuhan air mata, setelah ia bersungut demikian rupa, maka menangislah ia dengan perasaan yang sangat sedih dan hina, baik siang maupun malam. Setelah ia di dengar menangis, sanak keluarga yang memang tinggal berdekatan rumah, pergi menengok serta ditanya mengapa, jawaban selalu: sakit lukanya, padahal bukan saja karena sakit lukanya, tetapi juga ia merasa sedih, karena mengingat-ingat keadaan dirinya. Pada suatu waktu, malam jum’at, wade Kokanda tiba-tiba mimpi didatangi jin. Setibanya jin ini berkata kepada wade Kokanda: ”kamu ini saya tahu apa yang menjadi kesusahan hatimu; semua keluargamu tidak ada lagi yang suka padamu; semuanya sudah benci padamu, karena lukamu yang busuk ini; tetapi tidak usah kamu bersusah; nanti saya ajarkan kamu sebuah do’a kalau kamu tahu do’a saya ini, pada saat kamu akan menjadi, buaya, kalau-kalau kamu didarat kamu menjadi orang, dan kalau kamu kembali di sungai kamu jadi buaya, jadi kamu tidak ada kubur.

Mendengar bicaranya ini jin, wade Kokanda menjawab: ”Terimakasih jin, kalau saya tahu do’amu itu; ajarkan saya, sungguh-sungguh saya mau. "Setelah jin mendengar kemauan wade Kokanda, maka mulailah jin itu mengajarkan do’a pada wade Kokanda sebagaimana dijelaskan jin itu sebelumnya, dan setelah itu jin tadi menghilang dalam sekejap mata. Wade Kokanda kaget dalam tidurnya, langsung ia terbangun dan kebetulan sudah hampir pagi sehingga wade kokanda tidak tidur lagi. Pada pagi hari itu, wade kokanda terus menyanyi sekeras suaranya. Pada saat keluarganya tiba membawakan makanan dan air seperti biasanya, maka mereka tanya pada wade kokanda mengapa baru pagi itu juga ia menyanyi begitu keras suaranya. Wade Kokanda menjawab, bahwa ada yang menggembirakan padanya, tetapi ia tidak mau beri tahu apa yang menggembirakan dia itu Hanya wade kokanda bicara: ”saya ini sudah hampir mati; dan semua orang yang benci sama saya selama saya hidup, mereka akan rasakan pada saat saya mati; ingatlah kata-kata saya ini, dan kenyataannya.”

Mendengar kata-kata wade Kokanda ini, semua keluarganya heran, bahkan sampai-sampai tersiar dalam seluruh kampung wasolangka. Semua yang mendengar kata-kata wade Kokanda ini pada heran, apa yang dimaksudkan wade kokanda dengan kata-katanya itu. Jadi orang-orang dalam kampung wasolangka pada menunggu matinya wade kokanda, bagaimana nanti dengan bukti kata-katanya itu. Tidak berapa lama sesudah itu, lalu wade kokanda meninggal dunia, karena lukanya itu maka sibuklah keluarga wade kokanda dan semua orang dalam kampung wasolangka mengurus segala sesuatunya dalam hubungannya dengan kematiannya, memanggil pegawai mesjid, ada yang pergi ambil air untuk memandikan mayat, ada juga masak untuk makanan orang dan lain-lain. 

Padahal sementara orang-orang sibuk, tiba-tiba mayat wade kokanda menghilang dalam kamar tidurnya sendiri dimana ia mati, dan pada saat itu memang tidak ada orang yang mendampingi mayatnya. Jadi kesibukan saat itu beralih menjadi keheran-haranan atas hilangnya mayat wade kokanda tersebut. Pada saat itu orang-orang pada berbisik-bisikan mengenai kata-kata wade kokanda pada saat sebelum mati, mungkin inilah isi kata-kata dari wade kokanda tersebut yaitu hilangnya mayatnya ini.

Sejenak semua orang yang berdatangan karena kematian wade kokanda tersebut diam sambil tunduk, lalu kemudian masing-masing pulang, karena apa yang mau diurus, sedang mayat sudah hilang. Keluarga wade kokanda waktu itu terpaksa hanya melaksanakan peringatan tiga hari nya dan tujuh harinya walaupun wade kokanda tidak ada kubur. Setelah pelaksanaan peringatan tujuh malamnya besok sorenya keluarga wade kokanda dan orang-orang lain terus melihat wade kokanda jalan-jalan dipinggir sungai di wasalangka dekat bekas rumah tempat tinggalnya sewaktu hidupnya. Lalu saudara-saudaranya bersama-sama orang-orang kampung pergi mendekati wade kokanda, padahal wade kokanda terus buang diri dalam sungai dan tidak kembali lagi, walaupun ditunggu begitu lama. 

Maka dalam kampung hampir setiap saat membicarakan tentang kematian wade kokanda tersebut. Empat puluh hari setelah matinya wade kokanda, mulailah orang diizinkan membuat keramaian dalam kampung; antara lain di rumah salah seorang dalam kampung diadakan pesta kantola (nyanyi-nyi pantun berpantuan antara pria dan wanita) sebagai salah satu hajat.

Demikianlah pesta kantola ini diadakan. Sementara pesta berjalan tiba-tiba terus muncul wade kokanda diantara wanita-wanita yang sedang berpantun, tetapi tidak ada yang berani mengajak bicara padanya, tidak lama kemudian wade kokanda ini minta izin pergi buang air di sungai. Lalu diantar oleh kakak laki-lakinya sendiri dan satu laki-laki lain. Tidak lama mereka pergi, tiba-tiba dua orang yang mengantar tadi berteriak. Berlarilah orang-orang pergi menyusul. Sampai di pinggir sungai tidak ada kelihatan seorang pun hanya seekor buaya besar dalam sungai. Lalu tiba-tiba buaya ini berkata: ’Tidak usah kamu orang cari laki-laki yang antar saya tadi; mereka-mereka inilah diantara orang-orang yang benci pada saya sewaktu saya hidup; inilah buktinya kata-kata saya disaat-saat mendekati saya mati; sekarang mereka itu rasakan; saya inilah Wade Kokanda yang busuk luka.

Setelah itu tidak ada lagi yang berani mandi malam di sungai Wasolangka, dan menurut ceritera, wade Kokanda inilah asal usul buaya di Muna.

Asal usul Buaya
Asal usul Buaya

Cerita Rakyat Kolaka : Kura-kura dan Kera (Part 2)

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Kura-kura dan Kera
(KOLOPUA RONGA O HADA)(Part 2)

Penghulu mereka berkata, ”Masa teman kita yang dimakan. Kura-kura berseru lagi, ”He . . kalian telah makan temanmu. ”Apa? Tidak saya berseru agar kalian cepat-cepat berjalan, nanti ditimpa hujan lebat. ”Seekor kera perempuan telah mendengar baik kata kura-kura itu. Ia menyampaikan kepada penghulunya bahwa apa yang telah dimakan itu adalah daging teman. Penghulu mereka berkata, ”He . . bagaimana jadi?” Kura-kura berseru lagi, ”Oo . . telinga kalian sama dengan telingannya temanmu. Telapak tangan kalian sama dengan temanmu. Telapak kaki kalian sama dengan telapak kaki temanmu yang kalian telah makan”. Kera betina berkata, "Muhammad, telinga telapak tangan kanan kita yang telah dimakan. Sudah jelas bahwa apa yang dimakan tadi adalah daging kawan kita. Mari kita kembali membinasakan dia.” Mereka kembali mencari kura-kura ia telah bersembunyi di bawah lesung yang telah terbalik. Mereka mencari di segala penjuru rumah tidak di dapati. Kera betina datang bertengger di atas lesung lalu berkata, ”Kita setengah mati mencari mungkin ada di bawah lesung ini. Ia merobahkan lesung itu. Tampaklah kura-kura itu. 

Penghulu mereka memegang kura-kura itu dengan berkata, ”He . . aku akan bakar engkau. Kura-kura menjawab, ”Hei, bapakku telah membakar diriku sehingga badanku ini hitam, tidak mati juga”. Kera berkata lagi: Jadi bagaimana supaya engkau meninggal. ”Kalau saya potong. Kura-kura menjawab, ”Saya telah dipotong bapakku, tidak juga mati. ”Kera berkata lagi, ”Nanti saya buang engkau di kali. ”Kura-kura menjawab lagi: Aduh, ampun, kasihan, saya dipesan oleh nenek dan bapak, apabila saya dibuang di kali itulah yang akan membunuh saya. Kura-kura itu dibuang ke kali oleh kera. Sementara dibuang ia berteriak, ”Hehe . . satu keuntungan bagiku dibuang di kali, nenekmu tujuh lapis kalau kalian akan menemukan saya. Saya telah hidup karena tempatku di air. Kera betina berkata, "Muhammad, dia gembira katanya karena tidak dibunuh.

Sementara kera betina itu bertengger di atas pokok enau, tiba-tiba kedengaran olehnya bunyi ulat. Lalu ia berkata, ”Siapa di situ yang ribut? Ulat menjawab, ”He . . saya laki-laki berani, gerak gerikmu sama dengan gerak-gerik ayah bundamu. Mengapa engkau sedang bergerak-gerak? ”Kera yang lain berkata, ”Ia menghina dengan memaki orang tuamu. ”Kera betina itu segera menggali pokok enau itu mencari ulat yang menghina dia. Setelah didapatinya kera betina berkata. Nanti saya telan engkau.
Ulat menjawab, "Telanlah nanti saya muncul di pantatmu.” Lalu ditelannya. Setelah ditelannya benar muncul di lubang pantatnya. Diambilnya lagi lalu di letakkan di telapak tangannya dengan berkata,” Saya akan masukkan engkau di perutku melalui lubang hidungku.” Ulat menjawab, ”He . . saya dipesan ibu bahwa dengan jalan itu, itulah yang akan membunuh saya,” Kera berkata lagi, ”Kalau saya bakar engkau.” Ulat menjawab, ”Kepala ini hitam karena ibu habis membakar diriku, tetapi tidak mati juga”. Kera berkata lagi, ”Kalau saya potong-potong? Ulat menjawab lagi ”Ibu pernah memotong-motong sehingga badanku ini berkerut-kerut, tetapi tidak mati juga.” Kera memasukkan ulat dalam perutnya melalui hidung dengan jalan itulah kera betina itu mati: Ketika kera banyak itu sedang berduka, kera yang lain berkata, ”Kita mencari akal agar memberi upah kepada Namburilua supaya ia mengisapi air ini. ”

Mereka sepakat, lalu berjalan menuju hilir menemui Namburilua lalu Namburilua berkata, ”Gampang itu kalau hendak mencari si kura-kura. Pergilah ambilkan daun sebanyak mungkin untuk penyumbat lubang pantatku seluas tujuh gunung dan tujuh lembah tempat mereka memetik daun, lalu datang menyumbat lubang pantat Namburilua. Sesudah itu Namburilua mulai mengisap air. Sesudah air itu kering, semua kera itu turun mencari si kura-kura. Seluruh isi air diambil lalu dimakannya. Ketika kura-kura sedang menangis karena takut, datanglah seekor kepiting dengan berkata, ”Wahai kura-kura apa yang engkau susahkan? Kura-kura menjawab He . . mengapa bertanya, walaupun saya katakan, tidak juga akan menolong.” Kepiting menjawab, ”Walaupun saya tidak dapat menolong, tetapi baiklah diketahui. Kura-kura berkata lagi, ”Air ini sudah kering diisap Namburilua dan kita akan mati rupanya. Engkau tidak susah karena ada lubangmu. Kepiting menjawab, ”Ya, benar ada lubangku, tetapi coba lihat itu semua kera memasukkan tangannya dalam lubang-lubang untuk mencari engkau. Kalau setuju mari kita lari saja. Kura-kura berkata, "Terserahlah apa akalmu. ”Kepiting menjawab, "Engkaulah yang berpikir dan mencari akal karena di situ orang tua. ”Kura-kura berkata, ”Begini, kalau engkau berani membuang penyumbat lubang pantat Namburilua. "Kepiting berkata, ”Dapat, asalkan paman dapat mencarikan makanan dahulu agar saya kuat. Kura-kura berkata, ”Nanti saya ambilkan ubi hitam. Kemudian pergi mengambilkan sebiji, lalu dibakarnya dan diberikannya kepada kepiting dengan berkata, ”Silakan makan hingga kenyang, mulailah kepitung makan kemudian berkata, ”Wah saya sudah kenyang. "Kepiting merayap terus di tempat Namburilua. Sampai di tempat itu dengan bersem¬bunyi serta mengintip. Namburilua menjongkok dan mengisap air. Kepiting langsung menjemput daun penyumbat satu persatu, akhimya semua penyumbat terlepas dan air tiba-tiba banjir. Seluruh kera mati, dihanyutkan oleh air itu.

Kura-kura dan Kera
Kura-kura dan Kera

Cerita Rakyat Kolaka : Kura-kura dan Kera

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Kura-kura dan Kera
(KOLOPUA RONGA O HADA)

Pada suatu waktu ketika kura-kura sedang berdiam diri, tiba-tiba datang kera. Ia melihat kura-kura sedang mengasah parangnya. Ia berkata, ”Ke mana paman hendak pergi?” Kura-kura menjawab, ”He aku hendak membabat kebunku. ”He saya juga paman turut serta. ”Kura-kura berkata, ”Baiklah walaupun saya sendiri mau pergi apa lagi sudah ada teman.” kura-kura berkata, "Bagaimana paman parangku tidak ada”. Kura-kura menjawab, ”He . . ada parangku yang tidak berhulu itu nanti ya perbaiki hulunya.”

Diambilnya parang itu lalu dijepitnya dengan rotan kemudian diikatnya sesudah diasah mereka pergi membabat. Kera hanya membabat sepohon kayu tetapi kura-kura luas sekali tempatnya membabat. Kera hanya pergi melihat-lihat buah-buahan dan petiknya, kemudian datang berkata, ”He . . saya sudah memeras luas sekali, kenapa paman terlalu lambat.” Kura-kura menjawab, ”He . . patut karena engkau anak muda dan saya ini orang tua.” Ia berkata lagi, ”Baiklah paman kita kembali.” Mereka kembali bersama-sama. Besoknya tiba-tiba muncul lagi kera, berkata, "Bagaimana paman?” Kura-kura menyahut,”He . . saya akan pergi mencari anak pisang untuk ditanam”. Kera berkata lagi, ”He Saya juga mau ikut paman”, Kura-kura menjawab: Itu maksud yang baik. Sedang saya sendiri mau menanam apalagi kalau ada teman.

Mereka sepakat, kemudian pergi mengambil anak pisang. Sesudah itu mereka kembali menggali lubang ditanam. Karena panas matahari, mereka siram dengan air. Tidak lama itu habis ditanam, maka tumbuhlah ia. Setiap pucuk pisang kera muncul selalu dicubitnya. Tetapi pisang kura-kura sangat subur tumbuhnya karena setiap hari ia bersihkan dengan menyabit rumputnya. Pisang kera setiap hari pula ia membuang kelopaknya sehingga kurus dan kerdil tumbuhnya. Muncul lagi pucuknya ia cubit dan makan. Pisang kura-kura bertumbuh terus dan gemuk karena selalu di pelihara dan memberi pupuk. Tidak lama pisang kura-kura itu berdaun satu, tiga dan seterusnya, sudah besar sekali lagi tinggi dan sudah berbuah. Pisang kera makin hari makin kerdil seperti habis dibakar. Kera berkata, ”Bagimana paman pisang saya tidak mau besar?” Kura-kura menjawab, ”He . . anakku kasihan, engkau tanam dibukit, saya tanam di lembah. Jadi kalau menanam dibukit setiap hari bertambah tinggi dan pisang saya setiap hari bertambah pendek. ”Kera berkata lagi, He . . begitu halnya paman. ”Kura-kura menjawab, ”Ya begitulah. "Pisang kura-kura sudah berbuah. Ia sangat bergembira, sudah lebih sepuluh sisir buahnya Kera berkata, ”Eh . . Paman bagaimana jantung pisangmu itu disimpan saja? ”Kura-kura menjawab, ”Nanti sesudah tidak muncul lagi biji pisang baru diambil. Jadi, dijadikan lagi sayur. ”He . . begitu halnya paman? Kura-kura menjawab, ”Ya begitulah.”

Kera itu pergi melancong ke mana-mana dengan tidak memperdulikan lagi pisangnya karena hampir mati. Ketika tiba kembali pisang kura-kura sudah mulai masak dipohonnya. Kera berkata, ”Mengapa paman mengasah parangnya, ke mana pergi lagi? Kura-kura menjawab, ”Parangku sedang kuasah karena saya hendak pergi menebang kayu untuk membuatkan bibimu sebuah lesung. ”He . . saya juga mau turut paman untuk membantumu. ”Kura-kura menjawab lagi, ’Tidak benar, anakku sayang nanti saya dustai engkau. Saya akan pergi membuatkan alunya bibimu, He . . saya juga paman mau turut. Kura-kura berkata, "Janganlah engkau pergi nanti saya ambilkan juga. He .. Kura-kura menjawab, ”He . . alangkah baiknya kalau saya pergi juga.” Kura-kura berkata lagi, ’Tidak benar anak sayang, saya tidak mau berdusta. Saya akan menengok pisang yang pernah kita tanam dahulu, barangkali sudah tua. Kalau sudah tua akan saya tebang juga, ”He .. marilah kita pergi tanam? Mereka berangkat bersama-sama.


Mereka di tempat pisang itu. Sudah sesisir yang masak. Kera berkata: kalau paman setuju janganlah tebang, kalau ditebang nanti mati semua. Kura-kura menjawab: Jadi bagaimana anakku? Baiklah dipanjat. Kura-kura menjawab lagi: saya sudah tua tidak dapat memanjat. Kera berkata lagi, "Alangkah baiknya paman kalau saya panjatkan. ”Kura-kura menjawab pula, terserahlah engkau. Kera cepat-cepat memanjat dan tidak lama sampai di atas. Kura-kura berkata, ”Wahai kera yang baik jatuhkan untuk saya. ”He . . sebentar, saya coba-coba apakah manis atau tidak. Ketika itu kura-kura timbullah pemikirannya, rupanya ia akan menipu saya. Ia berkata akan coba-coba, lama kelamaan dihabiskan dan tidak akan memberikannya walaupun sepotong.

Ah kera itu akan menipu saya. Pisangnya pun yang sedang tumbuh dimakannya juga apalagi buah pisang yang masak. Benar-benar ia akan menipunya. Kura-kura pergi menebang tebunya lalu diruncing tajam-tajam kemudian dipasangnya. Ia pasang di tempat yang berumput, lalu kembali dengan berkata, ”Wahai kera yang kusayang berikanlah juga saya. Agar saya makan hasilnya. Kera itu menjatuhkan sepotong pisang dan sepotong tainya. Alangkah sakit hatinya kura-kura itu. Timbul pikirannya. Biarlah berdosa asalkan dibunuh karena ia tipu saya, yang payah bekerja dia yang menikmati, ia pergi mengambil setangkai daun sagu, kemudian dipotong dan datang berkata, ”Wahai kera yang kusayang di mana engkau? Kera menjawab Ia masih ada di sini. ”Kura-kura berkata lagi, jagalah pisang kita dan saya pergi dahulu ke sana. Kalau engkau dengar suara yang besar itulah suara anjing manusia. Tetapi kalau mendengar suara kecil itulah suara saya, jikalau lari jangan melompat di tempat yang bersih karena ada ranjauku, melompatlah di rumput itu. Kera menjawab, ”Ya baik paman. Kura-kura itu pergi dengan menyerat setangkai daun sagu sehingga berbunyi kura-kura. Kera mendengar suara kecil, dalam hatinya berkata itulah suara pamanku si kura-kura yang bodoh. Tiada berapa lama kera mendengar suara yang berbunyi besar disertai gonggongan anjing: Ho. . Ho. . Ho. . dalam hatinya berkata, "Itulah suara manusia yang akan membunuh diriku. Kera itu menjatuhkan tenaganya lalu melompat di tempat berumput, ia terkena ranjau dan mati di tempat itu. Kura-kura tiba di tempat itu lalu berkata: Bagus. apa saya katakan bahwa benar-benar engkau menipu saya, maka tertipulah pula engkau sudah mati dan saya sudah beruntung untuk makan daging.

Empat kali ia kembali membawa daging kera itu dirumahnya. Sesudah itu ia pergi mengambil kayu dengan membuat tempat memanggang. Separuh dipanggang, separuh dilemang dan dimasak di periuk. Kepala kera itu dibuang jauh-jauh. Telinganya, telapak tangan, telapak kaki bersama perutnya dan sedikit daging dimasukkan dalam bambu lalu dilemang. Ketika kura-kura sedang berbaring-baring dengan berselimut-rapat, muncullah kera serombongan. Mereka berkata, ”Bukan main paman sedang kerja apa sehingga apinya meluap-luap membubung tinggi. Kura-kura menjawab, ”Hai . . anak aku sayang, saya mendapat rejeki besar. Kera berkata lagi, ”Rejeki apa paman? ”Kura-kura menjawab lagi, "Ranjauku mengena ”Kera berkata pula, ”Apa yang dia kena?” Kura-kura menjawab pula, ”Ha . . Rusa besar yang tanduknya bercabang-cabang. ”Kera berkata lagi, ”Jadi masih ada untuk kami makan? ”Kura-kura menawab lagi, ”He . . mengapa tidak. ”Coba-lihat itu ada yang dipanggang, ada yang dimasak ada yang dilemang. saya sudah puas makan. Justru saya berbaring-baring berhubung terlalu kenyang seolah-olah hendak demam. Serombongan kera itu dipersilakannya dengan berkata, ”Wahai anak-anakku makanlah sepuas-puas. Apa yang kalian ingini seperti yang dipanggang, dimasak dilemang makanlah. Saya tidak akan larang”.

Kera banyak itu mulai mengerumuni daging yang dipanggang. Sesudah habis yang dipanggang, mereka pindah lagi yang sudah dimasak. Habis yang dimasak pindah lagi kepada yang dilemang. Seekor kera betina yang ada anaknya mengambil yang sudah dilemang, lalu pergi makan bersama anaknya. Ketika ia sedang tuang dari bambu keping anaknya berkata: Ibu, coba lihat ini telinganya seperti telingaku, "Ibunya menjawab, ”He . . jangan ribut. Nanti salah pantangan nenekmu. Lihatlah nenekmu itu. Ia berani sekali. ”Anaknya berkata lagi, "Benarkah? ”Ibunya menjawab lagi, ”Jangan ribut, nanti salah pantangannya. Kali lain ia tidak akan memberikan makan lagi. Kelihatan lagi telapak tangan di piring. Anak kera berkata, ”He . . telapak tanganku”. Ibunya berkata, ”Anak ini terlalu banyak-lagaknya. Diberitahu. jangan, nanti merusak pantangan nenekmu. Tidak mau ditegur. Makanlah sampai kenyang "Kelihatan lagi kakinya. Anak kera berkata lagi, ”Hu . . kakiku sama dengan kaki ini. "Ibunya ber-kata, "Lailaha illala anak ini terlalu bicara sombong. Diberi tahu jangan, nanti merusak pantangan nenekmu dan kali lain tidak akan diberi makan.

Sesudah makan mereka berkata, "Paman, kami ini akan meneruskan perjalanan Kura-kura menjawab Ibu baiklah anak-anak yang kusayang. Saya akan membagi-bagikan daging, sudah anak-anak habiskan. "Mereka berkata lagi, "Sudah cukup kami makan. Bagaimana mau diberikan lagi. Mereka berjalan. Kura- kura berseru, "Jalan cepat-cepat nanti dikenangi hujan lebat. Mereka menyahut,: "Apa? Tidak, jalan cepat-cepat nanti dikenangi hujan lebat. "Sementara mereka berjalan kura-kura berseru lagi: "Temanmu yang kalian telah makan "Penghulu mereka bertanya, "Apa yang dikatakan orang tua itu? "Salah satu diantaranya menjawab, "Katanya, kita telah makan teman.

Cerita Rakyat Kolaka : Elang Besar/Burung Garuda

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Elang Besar/Burung Garuda
(KONGGO OWOSE)

Sekali peristiwa di Negeri Sorume, yakni negeri yang kini dinamakan Negeri Kolaka, terjadi suatu peristiwa besar yang mengacaukan penduduk. Penduduk merasa takut untuk pergi kemana saja guna mencari bahan makanan sehari-hari, karena takut kepada burung elang besar (burung garuda). Burung elang besar itu biasanya turun menerkam kerbau dan lalu diterbangkannya pergi untuk dimakannya. Setelah kerbau habis lalu ia pindah kepada orang. Tempat dimana burung itu senantiasa melakukan penerkaman dinamakan padang luas di Bende. Padang luas di Bende merupakan jalan lalu lintas pokok manusia. Rupanya telah tiada seorang pun yang mampu melalui tempat itu. Jikalau mereka melalui tempat itu sudah pasti burung elang besar menerkam, rupanya telah kehabisan akal bagi orang pandai dalam mencari jalan untuk membunuh burung elang besar itu, seorang pun tak ada yang menemukan cara. Disaat mereka itu ditimpa kesusahan datanglah suatu kabar dari Negeri Solumba yang kini di namakan Negeri Balandete. Bahwa ada seorang, orang pandai lagi pula berani, matang, orang itu baru saja datang dari negeri atas kayangan, ia mempunyai sebilah keris dan sehelai sarung yang digunakannya dalam terbang.

Nama orang itu ialah ”Larumbalangi”. Maka pergilah mereka itu kepadanya untuk bertemu (Menemuinya). Setelah mereka itu tiba lalu mereka menceritakan kepadanya segala apa saja yang senantiasa merupakan peristiwa besar, yang menyusahkan penduduk. Serta merta Larumbalangi mendengar apa yang dice-ritakan oleh mereka itu, lalu ia tersenyum sambil berkata: Janganlah susah, pergilah engkau sekalian mengambil teras pohon buluh, kemudian engkau sekalian membuat bambu runcing sebanyak-banyaknya. Engkau sekalian mengumpulkan tombak, baik yang biasa maupun yang bercabang kemudian engkau memasangnya di tempat mana yang biasa didatangi oleh burung itu. Agar supaya burung elang itu segera datang, kiranya engkau sekalian mengumpannya dengan orang. Orang yang akan dijadikan umpan adalah lelaki yang kuat lagi pula berani Segala macam tomak engkau memasangnya di sekeliling tempat orang yang dijadikan umpan itu. Di sepanjang pinggir tempat umpan orang itu ngkau memasang ranjau.

Pada waktu itu juga mereka melakukan apa-apa saja yang dikatakan oleh Larumbalangi. Dipanggillah segala laki-laki kesatria dari beberapa negeri. Lalu mereka itu datang siapa yang suka menjadi umpan. Seorang pun tidak ada yang mau kecuali laki-laki kesatria Tasahea yaitu negeri Loeya sekarang. Tidak lama kemudian setelah mereka selesai memasang umpan, gelaplah suasana langit, muncullah burung elang besar datang mengintai ladang luas di Bende. Serta merta burung itu melihat seorang-orang, maka teruslah ia turun menerkamnya. Disaat ia hendak menerkamnya, ditusukkanlah tombak yang sebaya dengan laki-laki kesatria. Tasahea, kena tepat pada jantungnya. Disaat ia hendak terbang sayapnya lalu tertusuk pada tombak yang ranjang lagi lurus serta pada ranjau. Karena merasa sakitnya lalu burung itu terbang kembali, sambil tertumpah dan terpancar darahnya. Ia terbang menuju Pomalaa, melalui Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, pula Maniang, dan jatuh di atas gunung Mekongga. Di tempat-tempat mana darahnya jatuh tanah menjadi merah.

Di mana tempat jatuhnya darah yang bergumpal-gumpal tanahnya merah kehitam-hitaman dengan berbentuk batu nekel. Setelah 7 malam elang besar itu mati, datanglah bau yang sangat busuk. Orang banyak yang menderita sakit perut dan banyak yang meninggal. Setelah bau busuk datang muncullah ulat diseluruh air, tanah dan daun-daun kayu. Orang banyak yang kelaparan, dan banyak sekali yang meninggal. Mereka pun pergi kepada Larumbalangi menceriterakan segala sesuatu yang telah terjadi.

Larumbalangi pun segera meminta doa kepada sanghyang agar supaya hujan keras turun. Tujuh hari tujuh malam hujan turun, semua anak-anak sungai atau kali-kali kecil menjadi banjir segala macam ulat keluarlah menuju laut dan menjadi ikan. Segala tulang belulang dari pada elang, dihanyutkanlah air ke laut dan menjadilah batu karang. Konon itulah sebabnya maka laut di Kolaka banyak ikannya dan banyak karangnya.

Gunung tempat matinya elang dinamakanlah gunung ”Mekongga yang artinya gunung tempat matinya elang besar. Sungai besar di mana terdapat tulang elang disebut ”Lamekongga” yang artinya: yang membawa hanyut tulangnya elang. Negeri Sorume di robahlah namanya menjadi Negeri Mekongga. Laki-laki kesatria dari negeri Loeya yang telah menjadi umpan burung elang tidak boleh dijadikan budak, mereka menjadi bangsawan.

Larumbalangi dilantik menjadi tokoh dan pemimpin Negeri di Mekongga. Sebelum dan sesudahnya di dilantik raja Mekongga. Wilayah negeri itu terdiri dari tujuh wilayah yang dinamakan wilayah keperintahan ”tonomotuo” yang pada waktu itu statusnya sebagai ”tobu”.

Terbentuklah adat; Pada setiap kali diadakan pelantikan seorang raja di Mekongga dari ketujuh wilayah keperintahan, salah satu dari padanya yakni ”tonomotuo” di Sabilambo bertindak sebagai wakil dari ke tujuh wilayah negeri tersebut dalam hal menentukan pengganti seorang raja. Sejak dia menjadi raja sampai wafat, kehidupan dan penghidupan orang-orang di negeri Mekongga sangat baik dan makmur sentosa. Semua penduduk negeri sangat mencintainya, sebab dia ahli pandai serta arif bijaksana terhadap orang yang ditimpa kesusahan dan kesulitan.

Elang Besar/Garuda
Elang Besar/Garuda

Cerita Rakyat Muna : Raja Pertama Kota Muna

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Muna.

Riwayat seorang laki-laki keluar dari dalam batang bambu
(TULA-TULANO MIE BETENO NE TOMBULA)

Menurut orang-orang tua dahulu kala, ada di Muna orang yang keluar dari dalam bambu yang namanya disebut ”ZAIDHUL DHALALI”. Waktu itu orang-orang di Muna belum terlalu banyak macam sekarang ini. Terjadinya hal ini ialah dikampung Tongkuno. Banyaknya orang-orang kampung Tongkuno waktu itu kira-kira sekitar empat puluh rumah tangga.

Kepala Kampungnya disebut Kamolulano Tongkuno. Suatu waktu Kepala Kampung Tongkuno ini menyuruh orang kampungnya empat orang pergi memotong bambu di hutan yang bernama Lambubalano. Bambu ini maksudnya untuk dianyam menjadi tali pengikat. Lalu pergilah empat orang yang ditunjuk itu dihutan Lambubalano tersebut sampai mereka disana setelah mereka melihat rumpun bambu, mereka terus memilih batang yang terbesar lalu mereka tebang. Pada saat ditebang bambu itu terus berteriak, katanya: ”aduh, kakiku. ”mereka lalu menebang agak di atas, bambu itu berteriak lagi, katanya: ”aduh, perutku. ”Lalu yang ke empat orang ini menebang yang lebih atas lagi, tetapi bambu itu masih tetap lagi berbicara, katanya: ”Aduh kepalaku”. Carena bambu itu ditebang selalu berteriak, maka yang empat orang ini berhenti menebang, lalu mereka ke empatnya dengan perasaan ketakutan, mencabut bambu itu dengan akar-akarnya mereka sama-sama bawa ke Tongkuno.

Tiba di Tongkuno, bambu yang mereka pikul itu langsung mereka bawa dihadapan kepala Kampung Tongkuno. Lalu empat orang pemikul ini menceriterakan bahwa mereka cabut bambu ini dengan akar-akarnya karena pada saat ditebang beberapa kali, bambu itu berteriak pada setiap kali ditebang. Belum habis ceritanya keempat orang ini, tiba-tiba bambu yang dibaringkan dihadapan Kepala Kampung, berbicara lagi, katanya: ”jangan kamu orang ganggu saya, saya inilah raja kamu orang, buatkan saya kelambu, dan kelambuilah saya.” Mendengar pembicaraan bambu ini, Kepala Kampung Tongkuno terus yakin, dan percaya keterangan empat orang tadi, sambil memerintahkan beberapa wanita dalam kampung membuat kelambu. Kelambu yang disuruh buat itu, waktu itu juga selesai dikerjakan. Setelah Kelambu itu selesai, bambu yang dipikul dari hutan itu, terus dibawa naik dalam rumah Kepala Kampung Tongkuno lalu dikelambui. Setelah tujuh hari lamanya, batang bambu yang dikelambui itu tiba-tiba terus menghilang, dan tinggallah seorang laki-laki yang gagah perkasa dalam kelambu itu.

Itulah yang disebut orang yang keluar dari dalam batang bambu, dan mulailah diabdi oleh seluruh orang kampung Tongkuno bersama Kepala Kampung Tongkuno. Hal ini tidak lama terus tersiar diseluruh Muna. Orang-orang yang mengabdi bukan saja orang-orang Tongkuno, tetapi dari seluruh pulau Muna di dimana saja ada orang, berdatangan di Tongkuno. Jadi mulai saat itu Betenone Tombula telah mulai dijamin seluruh kehidupannya oleh rakyat Muna yang ada pada saat itu, dan dianggap sebagai Raja pertama di Muna. Empat puluh hari setelah Raja itu keluar dari dalam bambu, terus ada orang yang datang membawa kabar, bahwa ada seorang gadis yang cantik yang tiba di pantai kampung Duruka yang bernama Wa Bahara dengan menumpang sebuah ketoang. Mendengar ini Raja memerintahkan Kepala Kampung Tongkuno: ”Pergi jemput gadis itu dan, itulah isteri saya yang bernama ”Tandiabe”. Kepala Kampung Tongkuno setelah menyampaikan laporan atas kabar yang datang dari pantai Wa bahara bersama yang membawa kabar tadi, untuk menjemput isteri raja yang tiba di pantai Wa Bahara dengan menumpang sebuah ketoang itu. Dari hari itu juga isteri Raja itu tiba di Tongkuno. Setibanya isteri raja itu di Tongkuno, terus masuk dan tinggal bersama raja dalam kelambu yang sudah tersedia itu.

Bulan berganti tahun, beranaklah mereka berturut-turut: Sugimanuru, Sugilaende, Sugipatola dan beberapa Sugi lainnya. Maka tinggalllah keluarga Raja ini dan diabdi di Tongkuno. Rumah Kepala Kampung Tongkuno telah menjadi istana tempat tinggal Raja Muna yang pertama, Raja yang ajaib yang keluar dari dalam bambu.
Raja Bambu
Raja Bambu

Cerita Rakyat Kolaka : Tenggelamnya 2 Orang Bersaudara Yang Kawin Sekandung

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Peristiwa Tenggelamnya 2 Orang Bersaudara Yang Kawin Sekandung
(MO LO WU)

Ada suatu negeri di Mekongga yang dinamakan Lalolae. Orang-orangnya rupawan, baik laki maupun perempuan. Ada seorang wanita yang bernama Imba. Tidak ada yang menandingi akan kecantikannya. Dialah yang paling cantik dengan warna kulitnya yang keputihan. Imba mempunyai seorang kakak yang belum kawin. Dia mau kawin kalau dia menemukan seorang perempuan semacam Imba cantiknya. Pekerjaan Imba sehari-hari adalah mengayam. Segala anyaman dia ketahui.

Sekali peristiwa dia kehabisan bahan untuk anyamannya. Dia pun bersama kakaknya yang masih bujang pergi menemaninya mengambil daun tio-tio (sejenis pandan) untuk dianyamnya. Sedang mereka mencabut tio-tio tiba-tiba kakaknya datang nafsu birahinya.

Pada saat itu juga dia tangkap adiknya, dan disetubuhinya. Tiada berapa lama mereka tinggal bersama Imba mengandung. Setelah nampak kandungannya, mereka pun pergi dan tinggal di hutan. Mereka membangun pondok kecil di atas bukit. Sesudah beberapa bulan mereka pergi, mereka tidak pernah memperlihatkan diri pada orang banyak, sebab mereka takut. Kandungannya pun sudah tua, tidak lama lagi Imba akan melahirkan.

Tiba-tiba perutnya sakit. Tujuh hari tujuh malam perutnya sakit, belum juga mau melahirkan. Kedelapan malam di waktu fajar akan menyingsing, darah pun keluar seperti air saja dari perian. Sedang darah keluar sekonyong-konyong keluarlah anak bayi. Bayi itu nampaknya tidak seperti orang. Nampaknya seperti buaya, dan warna kulitnya pun ke biru-biruan. Setelah bayi itu keluar dan sampai dilantai, nafas Imba juga habis, karena darah terus menerus keluar tidak berkeputusan. Imba meninggal. Tiba-tiba turunlah hujan lebat. Di bawah lantai rumah mereka keluarlah mata air, seperti dituang dari dalam guci. Darah Imba bertemu dengan air yang dari langit dan dari dalam tanah. Tenggelamlah rumahnya, dan Imba pun tenggelam juga. Anaknya berenang menjadi buaya kuning. Kakaknya 7 malam 7 hari terapung-apung kemudian lemas menjadi ikan gabus. Negeri Lalolae tenggelam seluruhnya, banyak yang meninggal, dan yang hidup lari naik ke gunung turun di Loea dan di Rate-Rate. Peristiwa yang besar itu, dinamakan ”Molowu”

Sesudah kejadian itu, maka orang-orang menjadi takut melakukan perkawinan antara bersaudara, Adat sudah melarang. Siapa-siapa yang kawin antara bersaudara, akan dia digenangi air. Lebih baik 2 orang mati dari pada orang banyak. Binatang-binatang dan tanaman mati tenggelam. Itulah sebabnya orang-orang di daerah Mekongga dilarang kawin bersaudara seibu-sebapak, karena ia takut mati tenggelam. Tujuh hari tujuh malam tenggelam negeri Lalolae. Kalau air kering, dukun bermimpi, Imba datang memberitahukan, bahwa sebab mereka tenggelam karena ia di bikin hamil kakaknya. Bekas perumahannya selalu keluar mata air, lalu menjadi rawa yang luas dan dalam, tidak dapat dijangkau. Disitulah tempat tinggal anaknya yang dinamakan buaya ”bokeo sorume” yang besarnya seperti kecapi.

Rawa yang luas itu diberi nama ”Koloimba”, artinya tempat persetubuhan wanita yang bernama Imba. Rawa itu airnya berwarna merah, karena diakibatkan darah nipas Imba. Sejumlah sungai yang besar bermuara di tempat itu antara lain kali Mowewe, kali Sabilambo dan beberapa kali kecil lainnya tetap berwarna merah. Kali yang airnya berwarna merah mengalir sepanjang jalanan melalui Sabilambo, bermuara ke laut lalu kali itu dinamakan kali Koloimba.

Pada jaman dahulu sebelum datangnya agama Islam, setiap tahun sesudah panen, datanglah orang-orang membawa berasnya, ayamnya dan bermalam untuk beberapa waktu lamanya untuk memberikan makan kepada ”Bokeo Sorume”. Disaat mereka hendak memberikan makan buaya itu lalu timbul terapung lagi.

Setelah pada malam harinya di dalam tidurnya ia bermimpi bahwa ada seorang dukun yang memberitahukan kepadanya tentang sesuatu. Peristiwa apa yang hendak terjadi di dalam negeri diberitahukan oleh dukun itu kepada mereka. Dan apa saja yang mereka mohonkan senantiasa terkabul adanya dengan baik. Itulah sebabnya mereka senantiasa memeliharanya setiap tahun. Pada jaman dahulu, setiap selesai panen, ramailah kalau Koloimba dikunjungi orang laksana ramainya pesta peralatan.

Demikianlah ceritera mengenai tenggelamnya dua orang bersaudara yang kawin sekandung.
Kali Koloimba
Kali Koloimba

Cerita Rakyat Kolaka : Asal mula penciptaan manusia dan Alam (Part 2)

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Asal mula penciptaan manusia dan Alam.
(Tapuasano o Wuta)(Part 2)


Tidak ada lain pekerjaan Tapuasano Wuta kecuali memangku adiknya dan duduk-duduk di kepala ndobone dan minta dengan syair sebagai berikut: Ee niko ridoki, hae doki sangia tabea lahuene keu la, Ee mombetuhi dandasa nola nipu’u lahuene, keu la membelindu, mombe iwo-iwoi teboto, to’oto no tewali manusia kulando mendunggu aku pongoni-ngoni dumunggu’iowuta pongonino alamu ku’onggoto o’o paho’i inaku motuo ku’ onggoki paho’i kakanggu motu’o ku’ onggoki Sangia kakanggu lahuene. Yang maksudnya kira-kira demikian: di sana di tempat yang suci, wahai dewata di atas kayangan yang maha mengetahui segala sesuatunya isi alam semesta, kalau dewata sedang menghancurkan diri seperti air, menjadi bermohon diri meminta ampun atas nama segala isi alam semesta, akan telah insafi dan sadari bahwa yang Maha Kuasa dari semua yang kuasa adalah dewata/Sanghia di kayangan.


Aku tidak berdosa atas perjalananku aku sudah dapat cucu kita dari air, menjadilah manusia, dan kepanasan. Keluarlah dewata berangin-angin di tengah rumah sedang duduk-duduk di tengah rumah ia melihat ke bawah (ke dunia) dilihatnya Tapuasano Wuta sedang bermohon dan memangku adiknya duduk di hulu Bone, di mana mereka berjumpa pertama kalinya ia bersyair sebagai berikut: He lipu doki ho doki sang ia tabea lahuene ha rongo’i biri podedeai ku’anggo tumuha’i ko owuta umuluiko’o nola dumandi iko’o no ponggoningoni ko Tapuasano Wuta langgaino wonua, no’onggoto pohoko wuta motu’ onoki pohoko hakono motu ’o pu’unoki ie sangia lahano ano konoiki. Yang kira-kira maksudnya sebagai berikut:



He Negeri tumpah darahku, oh dewata di kayangan, pasang telingamu, dengarkan baik-baik, saya mau turunkan/jatuhkan tanah kepadamu sebagai perjanjiannya padamu waktu bermohon Tapuasano Wuta (penguasa negeri) ia hendak tanam yang tua sekali tanam kakaknya tertua, tetapi Sanghia di kayangan supaya dijunjung tinggi. Tanah itu jatuh tepat di tapak tangannya, sehingga pekerjaannya hanya melihat tanah tersebut lama-kelamaan dia lihat seperti rumin, lama-lama seperti kelip, kemudian seperti rupiah, seperti kapar dan loyang terus diambilnya dan diletakkannya di tanah. Setelah diletakkannya di atas laut, tanah tersebut berkembang melebar seluas kebun. Kemudian diturunkan pula adiknya sehingga jatuh tersangkut duduk-duduk di kepala Bone kemudian pindah di tanah sudah bungku diturunkan pula kepadanya kayu, semuanya kayu baik sebagai tanda seperti, kayu uren, umera, olimbute, koleuhu untuk tempat berlindungnya mereka sesudah itu mereka diberikan ayam, babi kemudian ia bertanya mana ayam, mana babi pada ketika itulah tanah berkembang, meluas, sehingga tidak diketahui batasnya. Kemudian dari pada itu baru mereka diberikan rumah dari kaca seluas padang lalang lagi pula sudah tersedia serumpun pisang yang sudah berbuah. Bila mereka potong mereka masak lalu mereka pergi di rumah Tapuasano Wuta tidak tahan lagi memotong kini kodo osi saja yang pergi memotong dan datang masakan mereka. Pekerjaan Tapuasano Wuta hanya berselimut dan menengok merekanya. Bagaimana pisang ini tidak adalah akalmu Tapuasano Wuta. Bukan Sangia yang akan datang memperbaiki, sedang bukan dia yang makan jadi apa yang akan kami perbuat mereka Sanghia karena besi kami tidak ada bangunlah, cuci muka dan kita gulung tikar sudah ada parang sesudah makan Tapuasano Wuta baring berselimut kembali sedangkan kayu tumbuh menjadi besar seperti beringin kemudian Sangia melihat ke bawah dilihatnya pula Tapuasano Wuta sedang berselimut lalu diberitahukan pula sekarang sudah ada parangmu tetapi tidak ada akalmu.


Tapuasano Wuta berkata apa akalmu nenekku Sanghia, saya mau apakah parang ini kecuali kita cubitkan kayu di sana yang berdiri tinggi besar hampir seperti beringin. Ujar Sanghia namun begitu bangunlah dan gulung tikarmu. Demikian Tapuasano Wuta bangun cuci muka dan menggulung tikamya sudah kapak yang akan menebas dan menumbangkan kayu welande. Lalu berkata: besok pagi masakanlah kita makan saya akan mulai memeras. Sesudah makan pisang ia bergegas dan mulai dari muka rumahnya mereka menanam hingga sepuluh kaki gunung jauhnya mereka berhenti melihat/memandang baru pertengahannya.


Kemudian mereka bersyair: Ei liku ridoki hodoki sangia tabea lahuene ho ho dahunggu inggo’o pnakanggu keu langgi mbetuhi tutumbo” O maria isala la’i nohumopadahunggu mepomiu pinakanggu. Ee ku’onggoto paho’i inakuto masuake kinando. O paendo asono kina mbo’ese’ano pae arapuno sae-saeno wuta tatarimano wonua. Nowawe’ ito ona sarapuno, yang maksudnya syair tersebut sebagai berikut: He jalanan sahabatku, nenekku Sangia di kayangan, dipanggilnya anjing piaranya kalau kau ada di dekatkan oh mariam nama anjingnya bergeraklah anjing kesayanganku. He saya mau tanam, sayalah yang mengetahui makanan kita, oh padi persahabatan nasi menghidupkan atau padi yang akan ditanam setibanya di negeri yang ditujunya. Dalam pada itu tunangannya sudah dibawa serta. Sampailah ia memeras manusia penjaga tunangan bunyi-bunyian tanah sepuluh gunung, sepuluh lembah, pekerjaannya mengosak tengah malam. Dijemurnya satu bulan kemudian dibakarnya hangus sekali sementara tidur Tapuasano Wuta, ia bermimpi diberitahukan Sanghia, konon katanya kepada Tapuasano Wuta, hangus tanah bekal kebunmu mengapa kau tidur-tidur, apa yang saya pikirkan Sanghia, jangankan padi tanaman lainpun kita tidak lihat yang akan ditanam, hangus tanah perkebunanmu katanya tidak pergilah di sana kamu sudah akan menugal sementara ia nemberitahukan adiknya Kodo osi supaya pagi-pagi masakan cita, saya mau pergi melihat kebun yang saya sudah dibakar sesudah makan pisang diambilnya parangnya lalu pergi tiba di sana sudah ada meniti 7 ekor ayam, sudah ada 2 bungkus beni padi, satu bungkus padi sanggula, satu bungkus lainnya padi biru (merah-biru), konon katanya inikah yang akan mengisi kebun sepuluh gunung, sepuluh lembah luasnya.

Seekor ayam yang tertua berkata: wahai Tapuasano Wuta kita sudah akan menugal, tetapi duduk sajalah di batang kayu lihat-lihat kami. Sesudah itu ia duduk dan melihat mereka ambil padi sanggula dan tanam satu-satu pohon sehingga tiba di batas tanah, itu mereka ambil padi kandula ore, padi biru, sedangkan yang mereka cari padi ule-ule sambil tanya menanya agar menanam pula padi tersebut sebagai anak padi. Sementara mereka menugal satu-satu pohon seluas tanah sebanyak beni, masih ada pula beni, akan tetapi karena tanah beni pun habislah ayam tersebut. Memberitahukan Tapuasano Wuta, kono katanya Tapuasano Wuta selama satu Jum’at kau datang kami sudah akan pergi.

Masih duduk-duduk Tapuasano Wuta mereka datang, masih menengadah melihat mereka, mereka masuk mengambil padi. Sungguh senangnya melihat padi. Setibanya ia coba-coba menguliti di padi ule-ule, ia keheranan disebabkan padi tersebut andaikata bergerak persis ulat, oh lalu ia singgah. Kalau melihat katanya Tapuasano Wuta, saya takut terhadap ulat. Mereka tidak tanamkan padi ule-ule. Akan tetapi kau akan mendengar yang bernama Kodoosi, kalau Kodoosi di seberang laut dan akan mendengar nama Tapuasano Wuta di seberang laut. Pada saat itu ia memeras dari tempat tersebut sampai di sebelah rumah tempat tinggalnya agar supaya jangan disentuh padi ule. Tiba di sana di rumah padi demikian pula halnya terus memaras sampai puas. kakaknya berkata katanya, Kodo osi engkau takutkan ulat, karena kau tidak tanamkan padi ule-ule. Tinggal saja aku pergi, kau akan mendengar Kodoosi lain kalau dari seberang laut, demikian pula Tapuasano Wuta yang lain kalau dari seberang laut.

Pada suatu hari ia tiba di dasar laut. Nenek Sanghia tiba di sana disertai hujan gerimis pergi di padang lalang seraya berkata "konon katanya ada hai anak-anak jangan ribut. Kalau tidak hujan dari muara laut, maka jatuh dari dasar laut. Sementara mereka melihatnya di muara laut dari hulu negeri/barat datanglah ke mari perempuan berjalan di lalang, dapat didudukkan telur di atas punggungnya dan mereka menegurnya dengan menanyakan dari mana dia konon katanya saya dari negeriku.

Demikian mereka mendengarkan keterangannya bukan dari muara laut, bukan dari dasar laut muncul datang ke mari seorang perempuan yang sedang berjalan di padang lalang dari dalam hutan namun didudukkan telur atas punggungnya tidak akan jatuh. Pada saat itu pula nenek Sanghia melihat dan berkata, andaikata masih hidup Anawai Ndolelenga, namun demikian biar anaknya supaya dipelihara. Perempuan tersebut tadi berjalan terus.
Penciptaan Alam dan Manusia
Penciptaan Alam dan Manusia